Kamis, 23 Januari 2014

Bagaimana mengambil keputusan dengan tepat?



Pernahkah Anda mengalami kesulitan pada saat hendak memutuskan sesuatu? Di satu sisi Anda tahu keputusan apa yang seharusnya Anda ambil namun di sisi lain ada suatu perasaan dan keinginan kuat yang mendorong Anda untuk mengambil keputusan lain yang sama sekali bertentangan. Mungkin sebagian dari Anda, pada situasi tersebut, memilih untuk menggabungkan dua keputusan menjadi satu dan hasilnya ternyata tidak optimal atau bahkan malah gagal sama sekali. Meskipun banyak metoda ilmiah dan praktis bisa digunakan dalam mengambil keputusan seperti penyusunan skala prioritas dan pembobotan, namun tak bisa dipungkiri bahwa yang namanya pengambilan keputusan tidak bisa lepas dari faktor emosi. Pertanyaannya adalah bagaimana kita mengendalikan dan menggunakan emosi kita pada saat-saat kritis yang bisa berdampak terhadap kelangsungan hidup kita, perusahaan, masyarakat sekitar atau bahkan negara?.



Ilmu yang bermanfaat bisa datang dari mana saja. Begitu pula dengan apa yang saya alami. Suatu ketika saya mendapatkan satu pembelajaran yang sangat berharga terkait dengan emosi dalam pengambilan keputusan dari rekan dan sekaligus mentor saya yaitu Bapak Agus Riyanto. Beliau menjelaskan ada sembilan jenis emosi yang biasanya menjadi landasan bagi manusia dalam mengambil suatu tindakan tertentu. Kesembilan jenis emosi tersebut adalah sebagai berikut:






  1. Apathy (ketidakpedulian). Sikap dan tindakan yang dilakukan didasari rasa ketidakpedulian sehingga segala sesuatu dikerjakan secara asal-asalan. Hasilnya pun tentu saja asal jadi. Dalam pengambilan keputusan, sikap apathy mendorong seseorang untuk tidak memutuskan apa-apa atau tidak berbuat apa-apa.
  2. Grief (kesedihan). Perasaan kehilangan atau kekecewaan karena tidak berhasil mendapatkan apa yang diinginkan telah menjadi pemicu dari sikap, tindakan atau keputusan yang diambil. Dalam situasi ini maka hasrat untuk membangun atau mencapai sesuatu yang baik telah memudar sehingga seseorang gagal mencapai potensi terbaiknya.
  3. Fear (ketakutan). Di tengah tekanan yang berat seperti misalnya karena batas waktu atau ketiadaan sumber daya, seseorang bisa mengalami rasa takut yang bisa dimanifestasikan dalam bentuk kepanikan. Kekhawatiran yang berlebihan karena menghadapi sesuatu yang belum pernah dihadapi juga bisa menjadi pemicu ketakutan. Dalam situasi seperti ini maka seseorang tidak bisa berpikir dengan jernih dan bersikap tenang sehingga lalai dalam mempertimbangkan semua kemungkinan yang ada.
  4. Lust (keserakahan). Rasa ingin memiliki atau menguasai sesuatu secara berlebihan bisa jadi merupakan wujud keserakahan. Dalam dorongan emosi seperti itu maka seseorang bisa kehilangan kendali atas logikanya sehingga kurang teliti dalam melakukan perhitungan dan pertimbangan untuk membuat keputusan yang bisa berakibat fatal terhadap dirinya, keluarganya atau organisasi/institusi yang dipimpinnya.
  5. Anger (kemarahan). Keinginan yang kuat untuk melampiaskan amarah baik terhadap sesuatu atau seseorang bisa berujung pada tindakan yang berpotensi merusak atau menyakiti. Tentu saja seseorang yang mengambil keputusan dengan dasar amarah akan tertutup pikiran dan hatinya dari berbagai pertimbangan yang sehat dan tujuan yang baik. Dalam keadaan seperti ini, biasanya keputusan yang dibuat tidak membawa perbaikan yang diharapkan tetapi justru malah memperparah keadaan.
  6. Pride (kesombongan). Dengan alasan harga diri dan keinginan membuktikan kemampuan yang dimilikinya, seseorang bisa terjebak dalam emosi kesombongan pada saat membuat suatu keputusan. Dalam situasi ini, maka seorang pengambil keputusan bisa jadi melakukan tindakan yang tidak efisien seperti penggunaan sumber daya secara berlebihan atau bahkan melakukan tindakan yang tidak berguna sama sekali hanya karena ingin memamerkan kemampuan yang dimilikinya.
  7. Courageous (keberanian). Keinginan yang kuat untuk mempertahankan atau menyelamatkan sesuatu bisa mendorong keberanian seseorang yang berujung pada kegigihan yang tiada bandingannya. Dasar keputusan yang dibuat adalah keberanian untuk menghadapi bahaya yang mengancam. Karena itu biasanya sang pengambil keputusan akan lebih hati-hati dalam memperhitungkan segala sesuatunya sehingga keputusan yang dibuat berpotensi untuk menghasilkan sesuatu yang baik.
  8. Acceptance (penerimaan). Sikap yang siap menerima segala kemungkinan yang terjadi biasanya muncul setelah usaha terbaik dilakukan. Inilah bedanya antara acceptance dengan apathy. Pada situasi dimana emosi untuk menerima (acceptance) telah terbentuk, biasanya emosi-emosi lainnya seperti kesedihan, ketakutan, keserakahan, kesombongan, dan kemarahan mulai mereda atau bahkan hilang sama sekali. Karena itu, sang pengambil keputusan akan lebih jernih berpikir dan bersikap lebih tenang sehingga bisa melihat peluang-peluang yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Karena itu, keputusan yang dibuat dengan dasar acceptancebiasanya akan berujung pada sesuatu yang baik.
  9. Peace (kedamaian). Keinginan untuk menciptakan atau mencapai kedamaian merupakan emosi yang sangat baik karena biasanya emosi yang satu ini tidak mengandung kepentingan pribadi tetapi lebih mengutamakan kepentingan orang lain. Dengan landasan emosi yang demikian, maka seorang pengambil keputusan akan bersikap sangat arif dan obyektif sehingga mampu menggali semua kemungkinan terbaik yang bisa dilakukan. Hasilnya, tentu saja keputusan yang berbuah manis bagi dirinya dan orang lain.
Para pembaca tentu bisa segera menyimpulkan bahwa enam emosi yang pertama merupakan emosi yang negatif atau jenis emosi yang sebaiknya dihindari pada saat membuat keputusan apalagi keputusan yang sangat penting dan berdampak luas. Kisah Hitler pada saat menyerbu Soviet merupakan sebuah contoh yang sangat baik dalam menjelaskan pengaruh emosi negatif. Kekuatan dan kelebihan Jerman seperti kecerdasan strategi para jendralnya, keahlian dan pengalaman para prajuritnya, serta ketangguhan dan kecanggihan peralatan perangnya menjadi tidak berarti karena terkubur di bawah ketakutan, keserakahan, kesombongan dan kemarahan sang diktator. Akibatnya, Hitler luput memperhitungkan kecukupan jumlah tentara, perlengkapan, amunisi dan suplai makanan mengingat luasnya wilayah Soviet. Hitler juga tidak menghiraukan saran-saran dari para jendralnya. Bahkan, ia terlalu meremehkan jumlah pasukan dan kecepatan produksi senjata yang bisa dihasilkan Stalin. Dan, yang terpenting, Hitler alpa memperhitungkan semangat juang tentara merah yang pantang menyerah. Emosi negatif yang begitu mendominasi sang fuhrer menyebabkan ia melakukan keputusan-keputusan bodoh seperti tidak membekali pasukannya dengan baju hangat yang tebal untuk menghadapi musim dingin di Rusia yang terkenal ganas karena Hitler memperkirakan Jerman sudah bisa menundukan Soviet dalam waktu enam bulan saja sebelum musim dingin tiba. Ternyata perang tersebut membutuhkan waktu bertahun-tahun. Jerman akhirnya terseret ke dalam pertempuran gerilya di dalam kota dan peperangan melawan cuaca, lapar dan keputusasaan. Bahkan di tengah kepanikannya, Hitler berkali-kali membuat blunderdengan merelokasi pasukan dan peralatan perangnya pada saat dan untuk tujuan yang tidak tepat. Hasil akhirnya, kita sama-sama tahu. Penyerangan Jerman ke Rusia menjadi titik balik kekalahan Jerman di Eropa dan kekalahan poros Jerman, Jepang, dan Italia dalam perang dunia ke-2.

Tiga emosi yang terakhir merupakan emosi positif yang memberikan kita kekuatan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bila kita menggunakan emosi positif, maka kita akan mendapatkan bantuan atau pertolongan dari “tangan yang tidak terlihat”. Pertanyaannya adalah bagaimana kita menjaga emosi kita agar selalu menggunakan ke-tiga emosi positif tersebut dalam membuat keputusan? Sebagian dari jawaban itu terletak pada kepekaan kita untuk selalu bertanya kepada diri kita sendiri apakah kita melakukan sesuatu karena emosi positif atau negatif? Seperti misalnya keputusan kita untuk menerima suatu jabatan tertentu, apakah karena keinginan kita untuk membawa perbaikan (peace) ataukah keinginan untuk menunjukkan kemampuan kita (pride)? Atau malah keinginan kita untuk mendapatkan materi yang lebih banyak (lust)? Bila kita sudah memiliki kepekaan untuk selalu menguji emosi kita, maka sisa jawabannya akan ditemukan seiring waktu. Karena emosi kita sesungguhnya bisa berubah dari waktu ke waktu. Manusia tidak sempurna. Tetapi bisa selalu menjadi lebih baik. Karena itu, penting bagi kita untuk tidak cepat merasa puas karena kita sudah mendasari suatu keputusan dengan emosi yang positif. Ingat, suatu keputusan yang diawali dengan courageous bisa berubah menjadipride bila kita tidak hati-hati menjaganya. Selamat membuat keputusan!

Special Thanks to: Agus Riyanto
Artikel ini telah dimuat di Lionmag

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut