Ada dua keputusan krusial yang membentuk masa depan nasibmu :
1) profesi apa yang Anda tekuni dan
2) dengan siapa Anda menikah.
Dan harus diakui, dalam dua keputusan krusial itu, sejumlah orang tua acap melakukan intervensi untuk menentukan apa yang harus dipilih.
Yang kemudian menjadi problem adalah saat pilihan orang tua dengan sang anak berbeda : baik profesi apa yang akan dipilih sang anak, dan jodoh yang ingin dinikahi. Dilema datang menghadang.
Oke, karena ini blog manajemen – bukan blog konsultasi penikahan buat para jomblo – maka saya hanya akan mengulas perbedaan pandangan orang tua dengan anak hanya pada aspek profesi karir yang akan dipilih (bukan pada jodoh yang ideal).
Tulisan ini juga lebih saya tujukan Anda sebagai orang tua (atau yang kelak akan punya anak-anak menuju tahapan remaja). Maka kalau Anda masih berstatus anak/belum menikah, maka mungkin tulisan ini bisa Anda diskusikan dengan orang tua Anda.
Saya pribadi sering mendapatkan pertanyaan dan keluhan anak-anak yang mengalami perbedaan pendapat dengan orang tuanya, dalam dua aspek kunci : pemilihan jurusan kuliah dan pemilihan profesi karir yang akan ditekuni.
Dalam soal jurusan kuliah, ada sejumlah anak yang masuk jurusan yang bukan ia minati, namun terpaksa masuk ke jurusan pilihan orang tuanya (atau ayahnya). Kasus ini banyak terjadi, dan anak biasanya mengalah demi tidak disebut sebaga anak durhaka.
Tentu saja proses belajar sang anak dalam bangku kuliah tidak akan berjalan optimal, karena ia masuk ke jurusan yang tidak ia cintai (tak jarang anak mengalami drop out karena semangat belajarnya padam di tengah jalan).
Setelah lulus, dilema dan potensi pertentangan pilihan dengan orang tua kembali menghadang : jalur profesi apa yang mau ditekuni.
Dalam hal ini saya cukup banyak menemui kasus seperti ini : si anak ingin mencoba merintis usaha sendiri (wirausaha), namun dilarang oleh orangtuanya, dan lebih didorong untuk menjadi karyawan atau pegawai (mungkin karena dianggap lebih menjanjikan kestabilan penghasilan, dibanding usaha sendiri yang penuh risiko).
Impian sang anak untuk membangun bisnis sendiri akhirnya padam, dan ia kembali terpaksa mengikuti “kemauan” orang tuanya.
Salah satu follower saya di twitter bilang seperti ini : “Saya berada pada dilema seperti itu mas. Seperti hidup tanpa jiwa. Ingin memberontak tapi takut disebut anak durhaka”.
Wahai para orang tua (yang anak-anaknya sudah menginjak remaja atau masih kanak-kanak), ketahuilah, memaksakan kehendak pribadi pada pilihan hidup anak mungkin bukan langkah yang bijak.
Jauh lebih elegan jika orang tua hanya memberikan pandangan mengenai kelebihan dan kekurangan sebuah opsi (entah opsi itu adalah jurusan kuliah atau pilihan profesi menjadi wirausaha). Lalu menyerahkan sepenuhnya pilihan kepada anak Anda.
Dan kemudian jika pilihan itu sudah diambil oleh sang anak, tugas orang tua hanyalah memberikan dorongan moral, restu dan doa bagi keberhasilan sang anak.
Disini mungkin kita layak kembali mengenang sebuah puisi menggugah dari Kahlil Gibran tentang relasi anak dan orang tua. Sebuah puisi yang diciptakan Kahlil Gibran pada tahun 1924 lalu, namun isinya menembus dimensi waktu. Sebuah puisi yang menggetarkan dengan kalimat bijak yang layak diingat.
Jika Anda adalah orang tua (ayah atau ibu bagi anak-anak yang masih anak-anak atau sudah menginjak remaja), kenanglah selalu sajak indah ini. Kalau Anda masih anak-anak, sampaikan pula sajak ini kepada orang tua Anda.
Betikut petikan sajaknya :
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu
Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh tapi bukan jiwa mereka,
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi
Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu
Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu
Engkaulah busur asal anakmu, anak panah hidup, melesat pergi.
DEMIKIANLAH petikan dari puisi Kahlil Gibran tentang relasi anak dan orang tua yang mungkin selalu relevan untuk kita renungkan.
Semoga kelak anak-anak kita semua bisa menjadi penghuni rumah masa depan yang indah – dalam rumah dunia ataupun dalam “rumah keabadian nun jauh disana”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar