Senin, 09 Juli 2018

Mengendalikan Rasa Marah terhadap Anak

Semua orang tua sewaktu-waktu bisa marah kepada anak-anaknya. Dalam kehidupan sehari-hari, selalu ada saja hal-hal yang membuat kita stres: terlambat datang ke suatu acara, lupa membawa sesuatu yang penting, masalah kesehatan dan keuangan, dan masih banyak lagi. Di tengah-tengah kondisi yang memusingkan itu, muncul anak kita, yang mengeluh kehilangan sepatunya, atau tiba-tiba baru teringat harus membeli buku untuk tugas hari itu juga, atau si Kakak iseng mengganggu si Adik, atau memang ia dengan sengaja membuat masalah. Dan kita pun meledak. Bila kita sedang dalam kondisi tenang, tentunya kita bisa mengatasi semua masalah dengan anak-anak tadi dengan lebih baik. Tapi karena kita sedang dalam kondisi stres, kita seringkali merasa berhak untuk melampiaskan kemarahan pada anak. Kenapa sih anak ini susah sekali dinasehati dan tidak tahu terima kasih?! Walaupun perilaku anak kita rasakan sangat menyebalkan, sebenarnya bukan itu yang menyebabkan kemarahan kita. Kita melihat anak berperilaku tertentu (Aduh, ia memukul adiknya lagi!), lalu kita menyimpulkan (Nanti ia akan tumbuh menjadi seorang psikopat!), dan kesimpulan itu akan membawa kita ke kesimpulan berikutnya (Aku telah gagal menjadi orangtua!). Pemikiran semacam ini memicu munculnya serangkaian emosi seperti rasa takut dan rasa bersalah. Kita tidak sanggup menghadapi perasaan-perasaan ini dan cara terbaik untuk menghadapinya adalah melampiaskan kemarahan kepada anak kita. Seluruh proses psikologis tersebut memakan waktu hanya sekitar dua detik. Mungkin saja anak kita memang membuat kesal dan menguji kesabaran kita, tapi bukan dia penyebab munculnya respon kemarahan kita. Cara kita mengatasi masalah berasal dari apa yang sudah kita pelajari dalam kehidupan kita. Ketika kita masih kanak-kanak, orangtua kita mungkin saja bersikap sama ketika kita melakukan sesuatu yang pada akhirnya membuat mereka marah. Tanpa disadari, kita sudah mengalami ‘luka’ psikologis akibat kesalahan pola asuh di masa kanak-kanak, dan sekarang anak-anak kita juga akan mengalami ‘luka’ tersebut.


MENGAPA Kita Bisa Marah pada Anak?

Orangtua dan anak memiliki hubungan yang unik di mana keduanya bisa saling memicu kemarahan bahkan untuk hal yang sangat sepele. Tak jarang kita sebagai orang dewasa suka bertindak irasional kalau sudah menghadapi anak. Dan bahkan membuat kita berperilaku kekanakan. Begitu pula halnya dengan anak kita. Mereka sering berperilaku menyebalkan dan seolah menguji kesabaran kita karena ya mereka memang anak kita. Psikolog menyebut fenomena inidengan istilah “ghosts in the nursery,” yaitu anak membangkitkan perasaan kemarahan yang terpendam dari masa kanak-kanak kita, dan membuat kita secara tidak sadar berespon sedemikian rupa untuk ‘melawan’ kemarahan itu. Rasa takut dan marah dari masa kanak-kanak ini sedemikian kuatnya sehingga merupakan suatu tantangan tersendiri untuk melupakannya. Dengan memahami semua ini, akan membantu kita mengatasi dan mengendalikan kemarahan kita. Dengan memahami bahwa kemarahan orangtua bisa ‘melukai’ anak secara psikologis, kita jadi lebih bisa mengendalikan diri.

Apa yang Terjadi pada Anak Saat Kita Berteriak atau Memukul

Bayangkan suami atau istri Anda marah dan berteriak pada Anda. Lalu bayangkan ia berukuran tubuh tiga kali lebih besar daripada Anda. Bayangkan Anda bergantung sepenuhnya pada orang tersebut untuk memperoleh makanan, tempat tinggal, rasa aman, dan perlindungan. Bayangkan ia adalah sumber utama bagi Anda untuk mendapatkan kasih sayang, percaya diri, dan informasi tentang dunia, di mana Anda tidak punya tempat lain untuk bertanya. Setelah membayangkan semua itu, kalikan semua perasaan yang muncul dalam diri Anda dengan 1000. Seperti itulah kira-kira yang terjadi di dalam diri anak Anda ketika Anda marah padanya. Tentu saja, kita semua pasti pernah marah pada anak, bahkan terkadang marah besar. Yang menjadi masalah di sini adalah, bagaimana menggunakan kedewasaan kita untuk mengendalikan ekspresi kemarahan kita dan memperkecil dampak negatifnya. Kemarahan itu bisa menjadi sangat menakutkan. Kekerasan verbal yang terjadi saat kita berbicara keras atau membentak anak akan berdampak negatif pada kepribadian anak, terutama karena anak sangat bergantung pada orangtuanya dalam hal pembentukan konsep dirinya. Anak yang mengalami kekerasan fisik seperti dipukul, terbukti menunjukkan perilaku negatif di kemudian hari sebagai dampak dari kekerasan fisik yang pernah dialaminya dulu. Bila anak Anda tidak terlihat takut pada kemarahan Anda, itu merupakan indikasi bahwa ia sudah terlalu sering melihatnya dan sudah membangun usaha pertahanan diri untuk melawannya — dengan cara melawan Anda. Hasilnya adalah anak akan semakin tidak berminat untuk berperilaku positif yang bisa menyenangkan hati Anda, dan akan membuka dirinya ke luar sehingga lebih mudah terpengaruh oleh teman-temannya dan juga dunia luar. Artinya, Anda memiliki tugas yang lebih berat untuk memperbaiki ‘kerusakan’ ini. Ditunjukkan atau tidak — dan semakin sering kita marah padanya, ia akan semakin defensif dan semakin enggan menunjukkan perasaannya — kemarahan kita merupakan hal yang menakutkan bagi anak kita.

Bagaimana Anda Bisa Mengendalikan Kemarahan Anda?
Sebagai seorang manusia, dalam mengatasi suatu masalah terkadang kita berada dalam kondisi “fight or flight (bertempur atau melarikan diri), dan anak kita yang menyebalkan itu akan terlihat sebagai musuh yang harus kita hadapi. Di saat kita diliputi kemarahan, secara fisik tubuh kita siap untuk berkelahi. Hormon dan neurotransmitter membanjiri tubuh kita. Otot menegang, detak jantung meningkat, napas terengah-engah. Sulit untuk tetap tenang bila berada dalam kondisi ini, namun kita semua tahu bahwa memarahi anak — walaupun akan membuat lega dan emosi terlampiaskan — bukanlah sesuatu yang benar-benar kita inginkan. Jadi mulai sekarang, buatlah komitmen untuk Tidak memukul, Tidak menyumpah, Tidak memanggil anak dengan sebutan kasar, atau Tidak memberikan hukuman apa pun di saat kita sedang marah. Bagaimana dengan berteriak? Jangan pernah melakukannya pada anak Anda, itu artinya Anda sedang tantrum. Bila Anda memang butuh untuk berteriak, pergilah ke mobil, tutup semua jendela, dan berteriaklah di mana tidak ada orang yang bisa mendengarnya, dan jangan berteriak menggunakan kata-kata, karena akan membuat Anda menjadi lebih marah. Anak Anda juga bisa merasa marah. Kemarahan Anda tidak hanya akan menyakitinya tapi juga akan dicontoh olehnya. Anak Anda akan sering melihat Anda marah, dan cara Anda mengatasi situasi itu akan dilihat dan ditiru oleh anak. Apakah Anda akan memberikan contoh yang benar? Bahwa orangtua juga bisa mengalami tantrum? Marah meledak-ledak? Atau bahwa marah itu adalah hal yang manusiawi, dan belajar mengendalikan kemarahan adakah bagian dari proses kedewasaan? Mari kita simak bersama.

1. Tentukan batasan/aturan SEBELUM Anda marah.

Seringkali, ketika kita marah pada anak, disebabkan karena kita belum menentukan batasan/aturan di keluarga. Pada saat Anda mulai merasa marah, itu adalah sinyal untuk melakukan sesuatu. Tidak, bukan berteriak. Lakukan sesuatu yang positif untuk mencegah munculnya perilaku anak yang membuat Anda kesal. Bila sumber kekesalan itu berada pada diri Anda — misalnya Anda baru saja pulang kantor dan masih sangat lelah — cobalah untuk menjelaskan kondisi ini pada anak Anda dan memintanya untuk jangan bertingkah, setidaknya untuk sementara waktu. Bila anak Anda melakukan sesuatu yang lama-lama semakin membuat Anda kesal — misalnya memainkan sesuatu yang berbahaya, menolak ketika Anda memintanya melakukan sesuatu, mengoceh saat Anda tengah menerima telepon penting — sebaiknya Anda menghentikan dulu kegiatan Anda, jelaskan lagi pada anak bagaimana peraturan yang berlaku di keluarga Anda atau arahkan anak Anda, supaya situasi tidak semakin memburuk dan Anda tidak semakin marah.

2. Buatlah daftar cara yang baik untuk mengatasi rasa marah.

Bila Anda merasa sangat marah, Anda memerlukan suatu cara untuk menenangkan diri. Banyak orang bisa menenangkan diri dengan cara: berhenti, tarik napas, ingatkan diri Anda bahwa ini bukanlah kondisi yang gawat. Lepaskan ketegangan dengan menggoyang-goyangkan tangan Anda. Tarik napas dalam-dalam sebanyak sepuluh kali. Bila Anda perlu bersuara saat melakukannya, tarik napas dan hembuskan sambil berkata, “hum”. Cari cara yang bisa membuat Anda tertawa, yang akan menghilangkan ketegangan dan mengubah mood Anda. Bahkan memaksa diri Anda untuk tersenyum akan mengirimkan pesan ke sistem saraf Anda bahwa yang sedang Anda hadapi bukanlah hal yang gawat dan itu akan menenangkan Anda. Bila Anda merasa perlu melampiaskan kemarahan secara fisik, pasanglah musik dan mulai berjoget. Anda juga bisa meninju bantal, namun sebaiknya dilakukan di dalam kamar atau tempat yang tersembunyi, karena bisa membuat anak Anda takut. Ia tahu bahwa bantal itu benda tempat meletakkan kepalanya saat tidur, dan bayangan ayah atau ibunya memukuli bantal membabi buta akan terekam di ingatannya.

3. Ambil waktu Lima Menit.

Pahami bahwa menasehati Anak dalam kondisi marah bukanlah hal yang bagus. Lebih baik Anda menyendiri dulu sesaat dan kembali ketika Anda sudah lebih tenang. Menjauhlah dari anak supaya Anda tidak tergoda untuk melakukan kekerasan padanya. Cukup katakan setenang mungkin, “Mama terlalu marah saat ini dan belum bisa bicara. Mama akan ke kamar sebentar dan menenangkan diri.” Menghindari anak bukan berarti membiarkan ia menang. Justru akan membuat ia berpikir betapa serius masalah ini dan memberikan contoh pengendalian diri padanya. Gunakan waktu tersebut untuk menenangkan diri, bukan membangun kemarahan untuk menunjukkan bahwa Anda benar. Jika anak Anda sudah cukup besar untuk ditinggal beberapa saat, Anda bisa pergi ke kamar mandi, mencuci muka, dan tariklah napas. Tapi bila anak Anda masih kecil dan akan merasa ditinggalkan, Anda cukup pergi ke dapur. Kemudian duduklah di sofa dekatnya sekama beberapa menit, tarik napas dalam-dalam dan perlahan ucapkan kata-kata yang bisa menenangkan Anda berulang-ulang, misalnya “Ini bukanlah hal yang gawat… Anak-anak justru membutuhkan kasih sayang kita pada saat ia bertingkah menyebalkan… Ia hanya bertingkah karena membutuhkan perhatianku… Semua ini akan segera berakhir.” Dengan bertindak demikian, anak akan melihat bagaimana cara kita mengatasi dan mengatur emosi kita.

4.  Dengarkan kemarahan Anda, bukan melampiaskannya.

Perasaan marah, sama seperti perasaan lainnya, merupakan pemberian Tuhan sebagaimana halnya kedua tangan dan kaki kita. Kita bertanggung jawab atas bagaimana kita menggunakan pemberian Tuhan itu, apakah untuk hal positif atau yang negatif. Rasa marah sebenarnya seringkali memiliki hikmah yang bisa dijadikan pelajaran bagi kita di kemudian hari, namun bertindak gegabah di saat kita sedang marah, kecuali apabila memang kita harus melawan untuk mempertahankan diri,  umumnya bersifat destruktif karena kita membuat suatu keputusan dalam kondisi yang tidak rasional. Cara yang baik untuk mengatasi rasa marah adalah dengan membatasi ekspresi kemarahan kita, dan di saat kita sudah lebih tenang pikirkan hal-hal seperti: apa yang salah dengan kehidupan kita sehingga kita bisa merasa begitu marah, dan apa yang perlu dilakukan untuk mengubah kondisi tersebut? Kadangkala jawaban dari pertanyaan tersebut berhubungan erat dengan cara kita mengasuh anak: kita harus menetapkan aturan sebelum terjadi hal-hal yang di luar kendali, atau mulai membiasakan anak-anak tidur sejam lebih awal, atau memperbaiki hubungan dengan anak kita yang berumur 12 tahun supaya ia berhenti bersikap kasar pada kita. Atau bisa juga ternyata sumber kemarahan berasal rasa kesal terhadap pasangan kita yang tidak bisa diandalkan sebagai mitra dalam mendidik anak, atau terhadap bos di kantor. Atau bisa jadi kita tidak memahami apa sebenarnya penyebab kemarahan kita, dan kita perlu mencari bantuan untuk mengatasinya melalui tenaga profesional atau komunitas support group.

5.Ingat bahwa “melampiaskan” kemarahan Anda pada orang lain justru akan membuat Anda semakin marah.

Walaupun konon kita perlu “melampiaskan” kemarahan dan jangan dipendam agar kesehatan jiwa kita tidak terganggu, sebenarnya tidak ada hal positif atau hal bermanfaat dari melampiaskan kemarahan pada orang lain. Studi penelitian menunjukkan bahwa mengekspresikan rasa marah di saat kita sedang emosi justru akan membuat kita semakin marah. Akibatnya, orang lain akan merasa sakit hati, ketakutan, atau marah, dan menyebabkan hubungan kita dan dia menjadi rusak. Jadi keluarkan kemarahan Anda jika memang dibutuhkan, tapi segera tenangkan diri Anda dan pikirkan apa “pesan” dari kemarahan Anda sebelum Anda mulai berbicara dengan orang tersebut. Kita sering berpikir bahwa bila kita mengekspresikan kemarahan pada orang lain membuktikan bahwa kita benar dan orang itu salah, dan hal ini biasanya malah akan membuat kemarahan kita memuncak. Yang harus kita lakukan sebenarnya adalah mencari tahu dengan cara yang konstruktif, apa yang sebenarnya membuat kita marah sehingga masalah tersebut bisa diselesaikan, dan kemarahan kita pun mereda.

6.TUNGGU DULU sebelum memberikan hukuman.

Anda cukup mengatakan hal seperti, “Kenapa kamu masih memukul adikmu? Padahal kan kita sudah pernah membicarakan bahwa memukul itu dilarang. Ibu perlu waktu untuk berpikir mengenai masalah ini, dan kita akan bicara lagi nanti sore. Sementara itu, kamu harus menunjukkan sikap yang baik di rumah ini.” Setelah Anda menyendiri selama sekitar 10 menit dan ternyata masih belum cukup tenang untuk bisa berbicara baik-baik, Anda bisa mengatakan, “Ibu mau berpikir dulu tentang apa yang baru saja terjadi, dan kita bicarakan lagi nanti. Sekarang Ibu harus menyiapkan makan malam dan kamu juga harus mengerjakan PR,”  Selesai makan malam, duduklah di samping anak Anda dan mulailah berbicara baik-baiik dengannya. Anda akan lebih bisa mendengar apa alasan anak Anda bertingkah demikian, dan bisa lebih berespon secara positif dan terkendali terhadap tingkah lakunya.

7. Hindari kekerasan fisik, dalam bentuk apa pun.

Delapan puluh lima persen orang dewasa mengakui bahwa mereka pernah ditampar atau dipukul oleh orangtuanya (Journal of Psychopathology, 2007). Berbagai penelitian pun telah membuktikan bahwa memukul memberikan dampak negatif pada perkembangan anak sampai ia dewasa nanti. American Academy of Pediatrics sangat menentang pemukulan pada anak. Saya pribadi juga berpikir apakah semakin meningkatnya gangguan kecemasan dan depresi pada orang dewasa saat ini juga sedikit banyak disebabkan oleh banyaknya anak yang menerima kekerasan fisik dari orangtuanya.  Banyak orangtua berusaha menyimpan pengalaman kekerasan fisik yang dialaminya, karena ‘luka’ emosional yang dirasakan begitu dalam. Namun memendam perasaan sakit tersebut justru akan membuat kita lebih mudah memukul anak-anak kita. Memukul akan membuat Anda merasa lebih baik sesaat, karena kemarahan Anda terlampiaskan, namun dampaknya akan sangat buruk bagi anak, dan langsung ‘menghilangkan’ semua hal positif yang sudah Anda lakukan sebagai orangtua. Memukul, dan bahkan menampar, dapat meningkatkan kemarahan menjadi kekerasan yang seringkali bisa fatal akibatnya. Lakukan apa pun yang Anda mampu untuk mengendalikan diri, termasuk meninggalkan ruangan tempat Anda marah. Bila Anda tidak dapat mengendalikan diri dan akhirnya memukul, mintalah maaf pada anak Anda, katakan padanya bahwa memukul itu salah dan tidak dapat dibenarkan, dan segeralah Anda mencari bantuan.

8. Hindari memberikan ancaman.

Ancaman yang dibuat pada saat Anda marah, biasanya aneh dan tidak masuk akal. Ancaman hanya akan efektif bila Anda memang akan melakukannya. Bila tidak, otoritas Anda sebagai orangtua tidak akan dianggap oleh anak dan mereka cenderung tidak akan mempedulikannya di masa mendatang. Akan lebih baik bila Anda mengatakan pada anak bahwa Anda perlu waktu untuk memikirkan hukuman apa yang pantas diberikan atas kesalahan / pelanggaran peraturan yang sudah ia lakukan. Anak akan lebih merasa takut dan tegang mendengarnya daripada hanya mendengarkan ancaman kosong yang ia tahu pasti tidak akan benar-benar Anda lakukan.

9. Kendalikan nada bicara dan pilihan kata Anda.

Penelitian menunjukkan bahwa semakin tenang kita berbicara, semakin tenang juga perasaan kita, dan orang lain akan meresponnya dengan tenang pula. Sebaliknya, bola kita banyak menggunakan kata-kata kasar, akan membuat kita dan juga orang yang mendengarkan merasa semakin kesal, dan situasi pun akan ikut memanas. Kita memiliki kekuatan untuk menenangkan atau semakin membuat marah baik untuk diri kita maupun lawan bicara kita dengan mengendalikan nada bicara dan juga pemilihan kata yang digunakan. (Ingat, sebagai orangtua Anda adalah panutan bagi anak.)

10. Anggap saja Anda adalah bagian dari masalah yang muncul.

Bila Anda membuka diri untuk selalu memperbaiki kondisi emosional Anda, anak Anda akan selalu dapat menunjukkan di bagian mana dalam diri Anda yang perlu diperbaiki. Bila Anda enggan untuk memperbaiki diri, maka akan sulit untuk menjadi orangtua yang layak dicontoh oleh anak. Dalam setiap interaksi dengan anak, kita memiliki kekuatan untuk menenangkan atau membuat panas situasi. Anak Anda mungkin akan bertingkah memancing kemarahan, namun Anda bisa melakukan sesuatu terhadap hal tersebut. Bersikaplah sebagai orangtua yang bertanggung jawab dengan berusaha mengatur kondisi emosi Anda terlebih dulu. Anak Anda tentunya tidak akan langsung berubah sikapnya dalam waktu sekejap, namun perilakunya akan berubah drastis segera setelah Anda berhasil belajar untuk tetap tenang dalam situasi apa pun.

11. Masih marah?

Cari tahu apa sebenarnya perasaan yang ada di balik semua kemarahan itu. Jangan terlalu terikat dengan kemarahan Anda. Ketika Anda sudah berhasil menemukan apa yang sebenarnya melatarbelakangi kemarahan Anda dan membuat perubahan/perbaikan terhadap kondisi tersebut, lupakan semuanya. Ikhlaskan yang sudah terjadi. Bila terasa sulit, ingatlah bahwa rasa marah sebenarnya adalah upaya kita untuk melindungi diri. Rasa marah membentengi diri kita dari dari perasaan rapuh. Untuk menyingkirkan rasa marah, cari rasa ‘sakit’ atau ‘takut’ yang ada di balik kemarahan tersebut. Bisa jadi penyebab sebenarnya adalah putri Anda yang menjadi terlalu sering bermain dengan teman-temannya, sehingga ia menjauh dari keluarga dan hal ini membuat Anda merasa sedih dan sakit hati. Atau mungkin penyebab Anda marah adalah kondisi tantrum putra Anda yang sebenarnya membuat Anda takut. Belajarlah mengatasi perasaan-perasaan dan situasi tersebut. Setelah Anda bisa mengatasi perasaan yang sebenarnya Anda rasakan, kemarahan Anda pun akan hilang.

12. Pilih apa yang sebenarnya penting.

Setiap interaksi negatif dengan anak Anda dapat dapat mengubah pemahaman anak tentang bagaimana caranya berinteraksi dengan orang lain. Fokus pada apa yang lebih penting: Anda bisa melampiaskan kemarahan atau bagaimana anak Anda memperlakukan orang lain di masa mendatang. Lebih penting yang mana? Misalnya, Anda marah karena anak meletakkan barangnya berserakan di lantai, lalu Anda memukulnya. Anak akan belajar bahwa memukul itu hal yang dibolehkan bila seseorang melakukan kesalahan. Setelah dewasa nanti, ia akan menjadi orang yang juga mudah memukul. Apakah ini yang Anda inginkan?

13. Carilah cara yang efektif untuk mendisiplinkan anak dan mendorong munculnya perbaikan perilaku.

Ada banyak cara yang lebih efektif untuk mendisiplinkan anak ketimbang hanya dengan marah-marah saja, dan sebenarnya, memarahi anak justru akan memunculkan perilaku lain yang salah. Banyak orangtua yang bingung, bagaimana mungkin ada keluarga yang anak-anaknya berperilaku baik, walaupun orangtua tidak pernah menggunakan kekerasan baik fisik maupun verbal. Pada kenyataannya, dari hasil observasi yang saya lakukan (walaupun penilitian ini masih belum bisa dikatakan valid karena jumlah respondennya terlalu sedikit) dalam keluarga di mana orangtua tidak pernah membentak anaknya dan menerapkan saling empati satu sama lain, justru menghasilkan anak-anak yang penuh tanggung jawab pada usia yang masih sangat muda dan secara emosional mudah ‘diatur’. Kita semua tahu bahwa hukuman pada dasarnya memang bersifat negatif.

14. Bila Anda harus terus-menerus berusaha untuk menahan marah, mungkin Anda membutuhkan bantuan konseling.

Tidak ada salahnya dan tidak perlu malu untuk mencari bantuan. Justru Anda malah harus merasa malu bila Anda melupakan tanggung jawab sebagai orangtua dengan ‘merusak’ anak secara fisik maupun psikologis.

Penulis: Dr. Laura Markham, psikolog klinis dari Columbia University

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut