Apakah Anda mulai merasa kesulitan mengendalikan perilaku anak Anda? Apakah Anda dan pasangan sering tidak
sepaham dalam mendidik anak anak? Apakah anak Anda sering merengek dan maksa untuk dituruti kemauannya?
Apakah anak Anda sering berantem satu sama lain? Atau, apakah Anda kesulitan karena anak Anda selalu nonton TV main PS?
Jika Anda menjawab YA dari salah satu pertanyaan diatas, maka ada baiknya membaca sejumlah kebiasaan orang tua
yang dapat menghasilkan perilaku buruk untuk Anda, dikutip dari buku Ayah Edy berikut ini:
Sewaktu anak kita masih kecil dan belajar jalan tidak jarang tanpa sengaja mereka menabrak kursi atau meja. Lalu
mereka menangis. Umumnya, yang dilakukan oleh orang tua supaya tangisan anak berhenti adalah dengan memukul
kursi atau meja yang tanpa sengaja mereka tabrak. Sambil mengatakan, “Siapa yang nakal ya? Ini sudah
Papa/Mama pukul kursi/mejanya…sudah cup….cup…diem ya..“. Akhirnya si anak pun terdiam.
Ketika proses pemukulan terhadap benda benda yang mereka tabrak terjadi, sebenarnya kita telah mengajarkan
kepada anak kita bahwa ia tidak pernah bersalah.
Yang salah orang atau benda lain. Pemikiran ini akan terus terbawa hingga ia dewasa. Akibatnya, setiap ia mengalami
suatu peristiwa dan terjadi suatu kekeliruan, maka yang keliru atau salah adalah orang lain, dan dirinya selalu benar.
Akibat lebih lanjut, yang pantas untuk diberi peringatan sanksi, atau hukuman adalah orang lain yang tidak melakukan
suatu kekeliruan atau kesalahan.
Kita sebagai orang tua baru menyadari hal tersebut ketika si anak sudah mulai melawan pada kita. Perilaku melawan ini
terbangun sejak kecil karena tanpa sadar kita telah mengajarkan untuk tidak pernah merasa bersalah.
Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan ketika si anak yang baru berjalan menabrak sesuatu sehingga membuatnya
menangis? Yang sebaiknya kita lakukan adalah ajarilah ia untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi; katakanlah
padanya (sambil mengusap bagian yang menurutnya terasa sakit): “Sayang, kamu terbentur ya. Sakit ya? Lain kali
hati-hati ya, jalannya pelan-pelan saja dulu supaya tidak membentur lagi.”
2. Berbohong Kecil
Awalnya anak-anak kita adalah anak yang selalu mendengarkan kata-kata orang tuanya, Mengapa? Karena mereka
percaya sepenuhnya pada orang tuanya. Namun, ketika anak beranjak besar, ia sudah tidak menuruti perkataan atau
permintaan kita? Apa yang terjadi? Apakah anak kita sudah tidak percaya lagi dengan perkataan atau ucapan-ucapan
kita lagi?
Tanpa sadar kita sebagai orang tua setiap hari sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak berkeliling
perumahan. Apa yang kita lakukan?
Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengalihkan
perhatian si kecil ke tempat lain, setelah itu kita buru-buru pergi? Atau yang ekstrem kita mengatakan, “Papa/Mama
hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya, sebentaaar saja ya, Sayang.” Tapi ternyata, kita pulang malam.
Contah lain yang sering kita lakukan ketika kita sedang menyuapi makan anak kita, “Kalo maemnya susah, nanti
Papa?Mama tidak ajak jalan-jalan loh.” Padahal secara logika antara jalan-jalan dan cara/pola makan anak, tidak
ada hubungannya sama sekali.
Dari beberapa contah di atas, jika kita berbohong ringan atau sering kita istilahkan “bohong kecil”, dampaknya ternyata
besar. Anak tidak percaya lagi dengan kita sebagai orang tua. Anak tidak dapat membedakan pernyataan kita yang bisa
dipercaya atau tidak. akibat lebih lanjut, anak menganggap semua yang diucapkan oleh orang tuanya itu selalu bohong,
anak mulai tidak menuruti segala perkataan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan penuh kasih dan pengertian:
“Sayang, Papa/Mama mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo Papa/Mama ke kebun binatang,
kamu bisa ikut.”
Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya membutuhkan waktu lebih untuk
memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia belum memahami
keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari.
Kita harus bersabar dan lakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak akan memahami
keadaan mengapa orang tuanya selalu pergi di pagi hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut. Sebaliknya bila
pergi ke tempat selain kantor, anak pasti diajak orang tuanya. Pastikan kita selalu jujur dalam mengatakan sesuatu.
Anak akan mampu memahami dan menuruti apa yang kita katakan.
3. Banyak Mengancam
“Adik, jangan naik ke atas meja! nanti jatuh dan nggak ada yang mau menolong!”
“Jangan ganggu adik,nanti Mama/Papa marah!”
Dari sisi anak pernyataan yang sifatnya melarang atau perintah dan dilakukan dengan cara berteriak tanpa kita beranjak
dari tempat duduk atau tanpa kita menghentikan suatu aktivitas, pernyataan itu sudah termasuk ancaman. Terlebih ada
kalimat tambahan “….nanti Mama/Papa marah!”
Seorang anak adalah makhluk yang sangat pandai dalam mempelajari pola orang tuanya; dia tidak hanya bisa
mengetahui pola orang tuanya mendidik, tapi dapat membelokkan pola atau malah mengendalikan pola orang tuanya.
Hal ini terjadi bila kita sering menggunakan ancaman dengan kata-kata,namun setelah itu tidak ada tindak lanjut atau
mungkin kita sudah lupa dengan ancaman-ancaman yang pernah kita ucapkan
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita tidak perlu berteriak-teriak seperti itu. Dekati si anak, hadapkan seluruh tubuh dan perhatian kita padanya. tatap
matanya dengan lembut, namum perlihatkan ekspresi kita tidak senang dengan tindakan yang mereka lakukan. Sikap itu
juga dipertegas dengan kata-kata, “Sayang, Papa/Mama mohon supaya kamu boleh meminjamkan mainan ini
pada adikmu. Papa/Mama akan makin sayang sama kamu.”
Tidak perlu dengan ancaman atau teriaka-teriakan. Atau kita bisa juga menyatakan suatu pernyataan yang menjelaskan
suatu konsekuensi, misal “Sayang, bila kamu tidak meminjamkan mainan in ke adikmu, Papa/Mama akan menyimpan mainan ini dan kalian berdua tidak bisa bermain. Mainan akan Papa/Mama keluarkan, bila kamu
mau pinjamkan mainan itu ke adikmu.“
Tepati pernyataan kita dengan tindakan.
4. Bicara Tidak Tepat Sasaran
Pernahkah kita menghardik anak dengan kalimat seperti, “Papa/Mama tidak suka bila kamu begini/begitu!” atau
“Papa/Mama tidak mau kamu berbuat seperti itu lagi!”. Namun kita lupa menjelaskan secara rinci dan dengan
baik, hal-hal atau tindakan apa saja yang kita inginkan.
Anak tidak pernah tahu apa yang diinginkan atai dibutuhkan oleh orang tuanya dalam hal berperilaku. Akibatnya anak
terus mencoba sesuatu yang baru. Dari sekian banyak percobaan yang dilakukannya, ternyata selalu dikatakan salah
oleh orang tuanya.
Hal ini mengakibatkan mereka berbalik untuk dengan sengaja melakukan hal2 yang tidak disukai orang tuanya.
Tujuannya untuk mrmbuat orang tuanya kesal sebagia bentuk kekesalan yang juga ia alami (tindakannya selalu salah di
hadapan orang tua).
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Sampaikanlah hal-hal atau tindakan-tindakan yang kita inginkan atau butuhkan pada saat kita menegur mereka terhadap
perilaku atau hal yang tidak kita sukai. Komunikasikan secara intensif hal atau perilaku yang kita inginkan atau butuhkan.
Dan pada waktunya, ketika mereka sudah megalami dan melakukan segala hal atau perilaku yang kita inginkan atau
butuhkan , ucapkanlah terimakasih dengan tulus dan penuh kasih sayang atas segala usahanya untuk berubah.
5. Menekankan Pada Hal-hal yang Salah
Kebiasaan ini hampir sama dengan kebiasaan di atas. Banyak orang tua yang sering mengeluhkan tentang anak2nya
tidak akur, suka bertengkar. Pada saat anak kita bertengkar, perhatian kita tertuju pada mereka, kita mencoba melerai
atau bahkan memarahi.
Tapi apakah kita sebagai orang tua memperhatikan mereka pada saat mereka bermain dengan akur? Kita seringkali
menganggapnya tidak perlu menyapa mereka karena mereka sedang akur. Pemikiran tersebut keliru, karena hak itu
akan memicu mereka untuk bertengkar agar bisa menarik perhatian orang tuanya,
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berilah pujian setiap kali mereka bermain sengan asyik dan rukun, setiap kali mereka berbagi di antara mereka dengan
kalimat sederhana dan mudah dipahami, misal: ”Nah, gitu donk kalau main. Yang rukun.” Peluklah mereka sebagai
ungkapan senang dan sayang.
####
Demikianlah 5 kebiasaan orang tua yang dapat berpengaruh buruk pada pembentukan karakter dan kepribadian anak.
Semoga bermanfaat untuk Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar